Republik Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa
sangat potensial menjadi pangsa pasar komoditi apapun, terlebih
telekomunikasi yang telah menjadi kebutuhan pokok di era globalisasi
seperti sekarang ini.
Data Asosiasi Telekomunikasi Seluler
Indonesia (ATSI) menunjukkan sampai akhir tahun 2011 ini tercatat ada
250 juta pelanggan seluler aktif yang 95% dikuasai oleh pelanggan
prabayar.
Jika saja rata-rata per pelanggan per bulan
menghabiskan pulsa sebesar Rp 100 ribu maka jumlah rupiah yang
diperoleh operator adalah Rp 25 triliun.
Jumlah rupiah 12
digit ini tidak main-main jumlahnya yang membuat para pengusaha pemilik
modal untuk menggelontorkan capitalnya dalam membuat perusahaan Content
Provider (CP). Data terakhir perusahaan content provider kurang lebih
200 buah dengan ribuan layanan konten.
Untuk apa membuat
perusahaan CP? Mungkin ini pertanyaan kebanyakan para pembaca, seperti
diketahui Content Provider merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
bisnis sebagai penyedia layanan jasa (data transfer, download
ringtones, logo, kuis, polling, dan lain sebagainya) untuk aplikasi
mobile.
Bekerja sama dengan beberapa atau salah satu operator
seluler dalam memasarkan konten yang ditawarkan kepada pelanggannya.
Dari beberapa sisi sebenarnya CP juga melakukan hubungan simbiosis
mutualisme dengan operator.
Sebab secara tidak langsung
pelanggan seluler yang menggunakan jasa CP otomatis menambah pemasukan
bagi operator dari pulsa. Pun sebaliknya, perusahaan CP merasa tarif
mahal yang ditawarkannya laku oleh pelanggan dari operator itu sendiri
sehingga masing-masing mendapat keuntungan dari layanan CP tersebut.
Layanan
yang ditawarkan penyedia konten mempunyai tarif berbeda tergantung dari
besarnya biaya produksi yang dikeluarkan dan margin yang ditentukan
oleh penyedia. Contohnya untuk ring back tone (RBT) saja, salah satu
operator mengenakan tarif Rp 10 ribu per bulan per pelanggan tergantung
populer atau tidaknya lagu dan artisnya tersebut.
Salah satu
layanan CP yang paling marak menyedot perhatian publik akhir-akhir ini
adalah kasus pencurian pulsa dari layanan SMS premium. Dengan modus SMS
Kata Mutiara, SMS tausiah dan sebagainya.
Mengapa Premium?
Disebut
premium seperti itu karena mempunyai tarif yang berbeda dengan tarif
reguler yaitu Rp 150. Tarif SMS premium bervariasi antara Rp 1.000 s/d
Rp 2.000 dimana biasanya antara operator seluler dan perusahaan
penyedia layanan saling berbagi keuntungan (profit sharing).
Singkatnya,
makin banyak pelanggan yang menggunakan fasilitas layanan SMS premium
tersebut maka makin besar revenue yang diperoleh oleh CP.
Dalam
melakukan pemasarannya, CP melakukan advertising di televisi, internet
atau di media massa. Misalnya: 'SMS Kata-Kata Mutiara' setiap pagi.
Untuk mendaftar silahkan KETIK 'REG SMS KATA MUTIARA' kirim ke 35XX.
Tarif Rp 1.000 sekali kiriman SMS. Dan berhadiah Umroh atau dan
sebagainya. Untuk menghentikan layanan, KETIK 'UNREG SMS KATA MUTIARA'.
Masyarakat
yang tertarik akan melakukan pendaftaran apalagi dengan iming-iming
hadiah Umroh atau barang dan sebagainya. Barangkali dalam beberapa
pengiriman SMS pelanggan merasa nyaman tapi ketika sudah selang
beberapa hari tanpa sadar pulsa terus tergerus yang akhirnya memutuskan
untuk melakukan kirim UNREG.
Yang perlu diperhatikan di sini
adalah apakah ketika kita mengirim UNREG dan REG pulsa kita tersedot.
Hemat penulis seharusnya fasilitas tersebut gratis karena pelanggan
belum mendapatkan layanan yang sesungguhnya seperti yang ditawarkan
penyedia.
Diperparah lagi pelanggan yang melakukan pengaduan
via call center tidak bisa mendapatkan fasilitas pemutusan layanan SMS
Premium tersebut dengan alasan pelanggan tidak bisa menyebutkan nama
atau identitas pada saat registrasi kartu baru (SIM card).
Padahal
sebetulnya dengan identitas yang asal-asalan saja kartu prabayar sudah
bisa difungsikan tanpa melakukan verifikasi data identitas kependudukan
dan hal ini dijadikan celah untuk terus mempertahankan pelanggannya
dengan cara yang tidak fair demi melindungi perusahaan CP sebagai
pundi-pundi pendapatan mereka.
Modus Pencurian Pulsa
Bagaimana
pencurian pulsa terjadi? Proses sosial telah dijelaskan di atas dimana
proses teknisnya adalah sebagai berikut. Pihak yang terlibat langsung
dalam proses ini ada 3 yaitu: 1) Operator 2) Perusahaan penyedia jasa
konten 3) Regulator (Pemerintah).
Operator sebagai pihak
penyedia layanan telekomunikasi sekaligus yang issued nomor seluler
memiliki sejumlah database nomor seluruh pelanggan baik yang aktif
maupun yang tidak aktif, pasca bayar dan prabayar.
Nomor
pelanggan seluler mempunyai property seperti ID (nopel), balance
(jumlah saldo pulsa), tanggal aktivasi dan informasi identifikasi
lainnya yang diperlukan. Semua proses penulisan pengisian pulsa dan
pengambilan dan perhitungan dilakukan oleh sistem software terintegrasi
dengan teknologi IN (Intelligent Network).
Sistem IN akan
melakukan perhitungan otomatis jika salah satu ID melakukan panggilan
(call) asal ( ANUM) ke nomor tujuan (BNUM) begitu pula dengan Short
Message Services (SMS). Sistem IN akan membedakan SMS tujuan ke nomor
reguler dan ke nomor yang short code yang telah ditandai sebagai
'premium' dengan biaya yang telah didefinisikan.
Perusahaan
penyedia jasa yang bertugas mengumpulkan nomor telepon pelanggan yang
telah melakukan REG menyimpan dalam sebuah database. Database nomor
tersebut dikirimkan ke operator di-mark sebagai 'pelanggan premium
layanan X' kira-kira begitu.
Artinya ketika setiap sekian
waktu jadwal pengiriman SMS dilakukan maka pulsa akan dikurangi sesuai
tarif yang telah didefinisikan. Setiap transaksi penggilan yaitu masuk
(incoming) dan (outgoing call) untuk seluruh nomor telepon pelanggan
itu record dalam CDR (call data record) dimana CDR menyimpan rekam
nomor pengirim (ANUM) dan nomor penerima (BNUM), waktu pengiriman dan
durasi pembicaraan, dalam hal ini data berupa SMS tidak ada durasi
pembicaraan.
Pemerintah sebagai regulator sebenarnya telah
mengatur melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang
mana fungsi badan tersebut mengatur tentang regulasi Industri
Telekomunikasi di Indonesia.
BRTI terdiri dari 3 orang wakil
pemerintah dan 6 orang wakil masyarakat Indonesia yang melakukan
analisis terhadap apa yang diperlu di atur terhadap proses bisnis dan
persaingan di industri telekomunikasi agar berjalan seimbang dan fair.
Pemerintah
seharusnya mengawasi secara detail proses operasional industri
telekomunikasi ini pada level aplikasi selain physical, datalink dan
routing. Sistem aplikasi ini rentan dan sangat mudah untuk direkayasa
sedemikian rupa agar terhindar dari audit.
Pengamanan
Pada
akhirnya kita menyerahkan kasus pencurian pulsa ini kepada Panja Komisi
I DPR RI untuk segera membongkar habis agar bisa diketahui apakah benar
ada dugaan konspirasi antara operator, penyedia konten dan regulator.
Namun
demikian penulis menggaris bawahi dan mengusulkan beberapa poin pertama
untuk pengamanan dari sisi pelanggan agar operator memberikan hak sama
antara pelanggan pasca bayar (abodemen) dengan pelanggan prabayar.
Pelanggan
seluler prabayar agar berhak mendapatkan laporan billing CDR (call data
record) atau rekam jejak panggilan data dari operator. Selama ini
laporan billing CDR hanya diberikan oleh operator kepada pelanggan
pasca bayar (post paid) setiap bulannya.
Logika yang sederhana
adalah bahwa pelanggan prabayar telah mengeluarkan uang kepada operator
dengan membeli pulsa meskipun belum menggunakannya hal ini seharusnya
diimbangi dengan pelayanan hak pelanggan yang sesuai yaitu bisa
mengeluarkan billing CDR nomor seluler tersebut dengan tujuan agar
pelanggan tidak merasa terancam kehilangan pulsa yang telah dia bayar
dimuka.
Ketika terjadi hal yang aneh pulsa berkurang,
pelanggan bisa melapor dan meminta operator untuk mengeluarkan billing
CDR-nya. Kedua agar operator menerapkan sistem reverse charging, yaitu
ketika terjadi pengambilan pulsa yang bukan dilakukan oleh pelanggan,
maka secara otomatis operator melakukan pengembalian pulsa kembali ke
nomor asal.
Termasuk pulsa-pulsa yang telah dibobol agar
dikembalikan ke tempat asalnya. Ketiga, pemerintah agar bisa melakukan
audit secara berkala terhadap sistem aplikasi yang akan digunakan untuk
jasa konten. Dengan audit secara berkala oleh regulator langsung maka
akan jelas jika terjadi penyelewengan terhadap anomal pengurangan pulsa
konsumen.
saya mencuri artikel ini dari DETIK.COM,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar